Minggu, Januari 27, 2008

H A J I Ibadah Yang Istimewa

H A J I

Ibadah Yang Istimewa

Haji itu pada bulan tertentu (Dzulhijjah)

Barangsiapa mengerjakan fardhu haji

Maka tak boleh ia berbuat tidak senonoh,

Tak boleh berbuat kefasikan/maksiat,

Dan tak boleh berbantah-bantahan

Ketika sedang berhaji.

Apa saja kebaikan yang kamu lakukan

Niscaya Allah mengetahuinya.

Berbekallah kamu dengan sebaik-baik perbekalan

Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa

Taqwa-lah kepada-KU

Wahai orang-orang yang beraqal.

( Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 197 )

PANGGILAN NABI IBRAHIM

Ibadah Haji adalah ibadah “panggilan”, makanya semua orang muslim selalu menantikan panggilan itu, “panggilan Nabi Ibrahim”, karena itu setiap jamaah selalu menyerukan talbiyah : “Labbayk, allahumma labbayk”.

Jika panggilan sudah sampai, maka tak seorangpun dapat mencegahnya. Ada yang tak pernah mimpi, tahu-tahu sepuluh orang anaknya bersepakat dan mengumpulkan dana yang ada pada mereka, untuk memberangkatkan sang ayah pergi haji. Ada yang pergi haji karena berhasil menjadi juara membaca Al-Qur’an. Ada pula yang pergi haji atas biaya dinas ( haji abidin ). Ada pula yang dapat undian, dan yang lainnya. Siapa sangka.


Sebaliknya, jika panggilan itu belum sampai, ada saja halangannya. Ada yang sudah siap untuk berangkat, tapi setelah diperiksa terakhir kesehatannya oleh dokter, eeh, ternyata hamil. Apa mau dikata. Ada juga yang gagal pergi ke Mekkah lantara panggilan bukan datang dari Nabi Ibrahim, melainkan dari Izhrail yang datang menjemput. Atau juga gagal karena tertimpa bencana alam yang teramat dahsyat. Atau karena sebab-sebab lain yang kita manusia tak mampu untuk menolak atau menghindarinya.

Bagi mereka yang gagal berangkat dan kecewa, itu manusiawi. Akan tetapi kita coba untuk mengambil hikmah di balik peristiwa ini. Ketika kegagalan ini dipandang sebagai musibah maka kitapun marah, kesal dan berontak. Tentu hal ini akan mempengaruhi kejiwaan dan bahkan keimanan kita. Manakala kita memandang kegagalan ini sebagai ujian dan peringatan Tuhan, kitapun sabar dan tenang. Mungkin belum jodoh dengan baitullah, atau mungkin panggilan Nabi Ibrahim belum sampai. Barangkali Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk membuat persiapan lebih baik, meningkatkan kesabaran, meningkatkan keimanan dan memperbanyak taubat dan ibadat. Tentulah hal ini sangat bermanfaat bagi kita semua.

Ada baiknya kita renungkan apa yang dikatakan oleh Bapak Quraisy Shihab: “Jika Anda gagal mendatangi rumah Allah, maka mari kuta berjuang untuk mendatangkan Allah ke rumah kita”. Rasulullah bersabda :

“Bersegeralah kalian berhaji, karena sesungguhnya (salah seorang) kamu tidak ada yang tahu apa-apa yang akan menghalanginya”. (H.r. Imam Ahmad dari Ibnu Abbas).

LANJUTAN IBADAH RAMADHAN.

Ibadah Haji adalah ibadah yang dilaksanakan/dikerjakan setelah kita m,engerjakan ibadah di bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda :

“Islam itu dibangun atas lima perkara (rukun), yaitu; Bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu Rasul Allah, Mendirikan shalat, Menunaikan Zakat, Melaksanakan puasa Ramadhan dan Menunaikan haji ke baitullah al-haram”. (H.r. Muslim dari Abu Hurairah).

Ibadah Haji dikerjakan pada awal bulan Dzulhijjah kurang lebih 60 hari setelah Ramadhan. Ada tiga pantangan besar dalam mengerjakan haji, yaitu :

“...jangan berbuat keributan, jangan berbuat kefasikan, dan jangan berbantah-bantahan”.

Ini berarti haji harus dikerjakan dengan tulus, mulus dan damai. Upaya/latihan untuk itu sudah dilakukan selama beribadah di bulan Ramashan, sebagaimana sabda Rasulullah :

“Puasa itu perisai, maka apabila seseorang kamu berpuasa, janganlah ia menuturkan kata-kata keji, dan janganlah berbuat keributan. Jika ada seseorang memakinya dan mengajaknya berkelahi, hendaklah ia berkata: Aku sedang puasa”. (H.r. Muslim).

Dengan sikap dasar yang dilatihkan di bulan Ramadhan ini dapat dipegang teguh dan dijadikan dasar pula dalam berhaji, maka tentu hajinya akan sangat bermakna. Bahkan Rasulullah juga bersabda :

“Barangsiapa berhaji kemudian ia tidak berbuat jorok (atau berkata kotor) dan tidak berbuat fasik (maksiat), maka ia kembali dalam keadaan kesucian, seperti pada hari ia dilahirkan” (H.r. Bukhari dan Muslim).


RUKUN ISLAM KELIMA.

Dalam struktur rukun Islam yang lima, Haji adalah rukun yang kelima, terakhir dan penutup. Apakah maknanya ?

Sebagai rukun yang kelima, ibadah haji adalah kewajiban yang hanya sekali seumur hidup. Ini artinya ibadah haji adalah ibadah yang dikerjakan “sekali jadi”. Jika yang sekali itu keliru, tak akan bisa lagi diulangi. Karena itu kita harus mengerjakannya “betul-betul”, dan tidak hanya kebetulan.

Sebagai rukun yang kelima, ibadah haji adalah kemasan penutup dan penyempurna dari ke-Islam-an seseorang. Empat sehat Lima sempurna. Dengan ibadah kelima ini, maka “sempurna”lah sudah keislaman seseorang. Maka yangessensi dari ibadah haji (mabrur) adalah kesempurnaan, “kaffah”, dan ketaqwaan, sehingga Rasulullah bersabda :

“Haji yang mabrur tidak ada ganjaran yang sesuai melainkan sorga”. (H.r. Bukhari dan Muslim).

Dan hasilnya haruslah dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari sesudah selesai mengerjakan haji.

HAJI DAN TAZKIYAH.

Sesungguhnya, nilai haji seseorang tidak terletak pada gelar HAJI/HAJJAH yang disandang di muka nama seseorang sebagai tanda ia sudah mengerjakan rukun Islam yang kelima. Haji Fulan, Haji Anu. Walaupun memang ada orang/pejabat yang tak mau menandatangani surat hanya gara-gara stafnya lupa mengetik huruf H (haji) di muka namanya, dan ia mengatakan bahwa untuk mendapatkan gelar haji itu tidak gampang dan mahal lagi biayanya.

Juga nilai haji seseorang tidak terletak pada kopiah putih yang terpasang di kepala. Kalau soal memakai kopiah putih, anak-anak juga bisa. Walaupun memang ada seorang pak haji yang distop polisi karena naik sepeda motor tidak pakai helm. Kepada polisi ia berkata: Kopiah putih saya ini lebih mahal dari harga helm. Bahkan ada ibu-ibu yang ketika belum haji suka pakai jilbab yang menutupi rapat seluruh kepala, leher dan dadanya, akan tetapi setelah pulang haji, tidak lagi memakai jilbab, melainkan memakai bolang yang menempel di kepalanya, biar orang tahu bahwa ia sudah hajjah. Katanya bolang itu sunah nabi bagi ibu-ibu yang sudah berhaji, padahal dengan bolang itu kelihatanlah ujung-ujung rambutnya yang ikal dan leher serta bahunya yang jenjang, bahkan kalung emasnya pun juga tampak jelas.

Sebagai rukun yang kelima, ibadah haji adalah ibadah yang dilaksanakan sebagai proses tazkiyah, penyucian yang agung, penyucian diri secara keseluruhan/total sebagai dasar untuk menuju ketaqwaan.

Memang, semua rukun Islam adalah proses penyucian. Syahadatain adalah penyucian aqidah, membersihkan aqidah dari tuhan-tuhan yang tidak benar. Shalat adalah penyucian jasad, membersihkan diri dari ujung rambut sanpai ke ujung kaki. Zakat adalah penyucian harta dari perkara-perkara yang tidak baik. Sedangkan puasa adalah penyucian hati/jiwa dari nafsu dan syaitan. Adapun haji adalah penyucian total, penyucian yang sempurna, sebab haji hanya akan bernilai teramat baik (mabrur) apabila dikerjakan dengan aqidah yang suci bersih, diri yang suci bersih, harta yang suci bersih, dan hati yang juga suci bersih.

Sebagai rukun yang kelima, ibadah haji hanyalah bermakna, apabila dikerjakan dengan :

* Aqidah yang suci : tidak ada kesyirikan didalam hati, dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang berbau syirik.

* Diri yang suci : tidak tumbuh dari makanan haram, dan tidak dipakai melakukan perbuatan haram/maksiat.

* Harta yang suci : tidak berasal dari perolehan yang haram atau tidak jelas asal-usulnya, dan telah dibersihkan dengan zakat, infaq dan shadaqah.

* Jiwa/hati yang suci : tidak terbawa nafsu (takabur, takatsur dan hasad), dan tidak mencintai dunia secara berlebihan sehingga menelantarkan akhirat.

Dalam sebuah hadits yang agak panjang Rasulullah bersabda :

“Apabila seseorang keluar untuk berhaji dengan nafkah yang baik dan ia meletakkan kakinya di atas kenderaan, lalu mengucapkan :”labbayk, allahumma labbayk”, maka ada suara/ sahutan dari langit :”Aku penuhi panggilanmu dan kebahagiaanmu di dunia dan di akhirat. Bekalmu dari yang halal, kenderaanmua juga halal dan hajimu mabrur, tidak tertolak”. Dan apabila seseorang keluar untuk pergi haji dengan nafkah yang jelek, kemudian meletakkan kakinya di atas kenderaan, lalu mengucapkan : “labbayk, allahumma labbayk”, kemudian ada suara/sahutan dari langit : “Tidak Aku penuhi panggilanmu dan tak ada kebahagiaan bagimu di dunia dan di akhirat. Bekalmu dari yang haram, nafkahmu juga haram dan hajimu tak dapat diterima”. Masya Allah, betapa sis-sianya.

Sebagai rukun yang kelima, ibadah haji adalah proses tazkiyah, proses pertaubatan yang terbesar dan terberat. Karena itu hasilnya/keberhasilannya hendaknya membawa perubahan yang cukup signifikan dan permanen bagi kehidupan sesudahnya. Jika tidak maka betapa kerugian sajalah yang kita peroleh, walaupun secara materi duniawi kita berbangga hati karena sudah dapat mengerjakan haji, bahkan berkali-kali.

Sebagai illustrasi kita camkan sebuah hadits -yang agak panjang- yang artinya kurang lebih demikian :

“Pernah terjadi dialog Rasulullah dengan para sahabat. Rasul bertanya : Tahukah kalian siapa yang benar-benar bertaubat/mensucikan diri ?”. Sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang tahu” . Maka Rasul menjelaskan : Barangsiapa mengaku bertaubat :

- tetapi tidak mau mencari/menuntut ilmu, ia belum bertaubat;

- tetapi ibadahnya tidak juga bertambah (baik dan banyak) , ia belum bertaubat;

- tetapi tidak bersedia memberi keredlaan/maaf kepada lawan, ia belum bertaubat;

- tetapi pakaian dan makannya tidak berubah, ia belum bertaubat;

- tetapi pergaulannya tidak juga berubah, ia belum bertaubat;

- tetapi tidak juga berubah kebiasaan/akhlaknya, ia belum bertaubat;

- tetapi tidak bersedia menggulung tempat tidurnya, ia belum bertaubat;

- tetapi tidak mau menyedekahkan sebagian karunia Allah, ia belum bertaubat”.

EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA

Seorang haji adalah pribadi/sosok yang sempurna keislamannya, muslim yang kaffah, muslim yang taqwa, yang muttaqien. Sorga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan hanya untuk orang-orang yang muttaqien. Dan taqwa adalah pakaian kehidupan yang terbaik, yang paling sempurna.

“Berpakaianlah kamu, dan sesungguhnya pakaian yang terbaik adalah pakaian taqwa”.

Sehubungan dengan ayat ini Quraisy Shihab mengatakan kepada mereka yang tengah berhaji: “Jangan kamu tanggalkan pakaian ihrammu sebelum engkau yakin akan menggantinya dengan pakaian taqwa”. Sungguh luar biasa..

Jika assumsi ini benar adanya, maka seorang yang sudah HAJI, tidak akan :

- tidak akan melakukan korupsi dan manipulasi, sekecil apapun, apalagi besar;

- tidak akan mengkhianati kawan sendiri, apalagi menjegal dan menghujat;

- tidak akan mendendam dan mendengki, karena hanya akan merusak hati;

- tidak akan rakus dan tama’ kepada harta dan dunia, apalagi sampai lupa diri;

- tidak akan arogan, angkuh, tinggi hati, sehingga mau menang sendiri tak mau mengaku salah;

- tidak akan iri dengki melihat kawan atau orang lain yang sukses, sehingga mau menjatuhkan.

Pendeknya, seorang “haji” adalah pribadi yang bersih/suci, damai, dan bahagia..

Dengan demikian, sepantasnyalah kalau kita berharap :

Makin banyak yang haji, makin bersihlah negeri ini

Makin banyak yang haji, makin damailah hidup ini

Makin banyak yang haji, makin bahagialah hati ini.

Bagi mereka yang pergi menunaikan ibadah haji :

Kita lepas kepergiannya dengan doa semoga aman, selamat dan sukses.

Kita tunggu dan sambut kedatangannya nanti dengan harapan semoga membawa kesucian, kedamaian dan kebahagiaan bagi kita semua. Semoga kemamburan itu bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan membias kepada kehidupan dan kebagaiaan bersama dalam keampunan dan redha Allah. Amien.


BACAAN / RUJUKAN

- Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Haji, Umrah dan Ziarah.,(terj. Drs. Musrifin As’ad Z), Penerbit Firdaus, Jakarta, cet. I, 1993.

- KH. Abdukllah Gymnastiar, Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qalbu, Gema Insani Press, Jakarta, cet. I, 2002.

- Syekh ImamAshaari Muhammad at-Tamimi, Ibadat Menurut Islam, Giliran Timur, Jakarta, cet. VI, 2001.

- Syekh Hasan Ayyub, Pedoman Menuju Haji Mabrur (terj. S. Agil Husin al-Munawwar et.al.), PT Wahana Dunia Unika Karya, Jakarta, cet. I, 2002.

- Ust. Labib Mz. & M. Ridho’ie, Kuliah Ibadah Ditunjau Dari Segi Hukum dan Hikmahnya, Penerbit Tiga-Dua, Surabaya, cet. I, 2000.


Banjarbaru

AHMAD KUSASI

Senin, Januari 21, 2008

DICARI: CALON GURU UNTUK SEKOLAH DASAR

PENGANTAR

Soal rendahnya mutu pendidikan sudah terlalu banyak dibicarakan. Hal ini tidak usah diperdebatkan lagi. Dan memang bukan untuk sekedar diperdebatkan. Yang perlu dipikirkan dan diusahakan bersama adalah bagaimana caranya mengangkat mutu pendidikan yang dikatakan ’terpuruk’ itu.

Dalam kehidupan di masyarakat hidup berbagai pandangan/anggapan/persepsi yang nadanya terasa sumbang bagi pelaku-pelaku pendidikan, terutama guru-guru yang diambung sebagai ’pahlawan’ tapi dianggap tidak berjasa sehingga populer dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa. Yang Pertama: Apabila ada anak yang berhasil, sukses, berprestasi, menjadi juara, orangtuanya akan tepuk dada, ”siapa dulu bapak/ibunya”. Tetapi bila ada anak yang terpuruk, gagal, tidak berhasil naik/lulus, telunjuk tertuding ke muka guru, ”bagaimana sih guru mengajar”, atau ”inilah, kalau guru tidak profesional”. Yang Kedua: Sekolah Dasar (SD) adalah sekolah rendah. Rendah dalam status, rendah dalam tingkatan, dan rendah dalam penghargaan. Setiap orangtua bersedia menyumbang banyak-banyak untuk SMA atau Perguruan Tinggi. Adapun untuk SD, menghadiri rapat sekolah setahun sekali saja banyak yang malas. Bahkan, (dulu) tunjangan fungsional guru diukur berdasarkan jenjang sekolah, dan guru SD mendapat tunjangan yang paling sedikit.

Menyadari dampak negatif dari anggapan tersebut kita berusaha untuk menata dengan baik Sekolah Dasar dan berusaha terus menerus meningkatkan profesionalisme guru-gurunya.

SEKOLAH DASAR, DASARNYA SEKOLAH

Ketika mulai berbicara tentang ”rendahnya mutu pendidikan” itu berarti rendahnya mutu sekolah, karena sesungguhnya mutu pendidikan muncul dari sekolah-sekolah yang bermutu. Ketika disinggung tentang mutu sekolah maka yang muncul adalah logika apologetik begini: Ketika muncul fenomena banyaknya sarjana pengangguran (pengangguran intelek) orang akan mengatakan bahwa Perguruan Tinggi yang belajar di dalamnya mengeluarkan biaya banyak ternyata menghasilkan sarjana yang tak bisa apa-apa, bukannya sarjana yang apa saja bisa. Orang Perguruan Tinggi akan membalas: Habis, kami juga menerima dari lulusan SLTA yang berkualitas rendah. Pengelola SLTA tentu tak mau kalah, mereka akan berkata: Memang dari SLTPnya sudah begitu. Nah, orang-orang SLTP akan melempar tuduhan kepada SD. Adapun guru-guru SD mau melempar kemana. Guru-guru SD mau bilang apa.

Ini hanyalah sebuah illuistrasi yang akstreem, abstrak, dan cuma guyon. Tanpa bermaksud untuk menyalahkan siapa-siapa, saya hanya ingin mengatakan bahwa Sekolah Dasar (SD) adalah sekolah yang Dasar, tempat bertumpu untuk anak meraih prestasi di sekolah-sekolah jenjang berikutnya. Apabila penataan dan pembentukan di dasar baik dan mantap, tentu menjadi ’mudah’ bagi anak untuk meraih keberhasilan di jenjang berikutnya. Akan tetapi apabila dasar ini dibengkalaikan atau terbengkalai maka mudahlah ditebak apa yang akan diperoleh di jenjang sekolah yang lebih tinggi, yaitu: tidak ada prestasi apa-apa.

Ada satu issue yang layak untuk kita perhatikan dan cermati. Kita semua tahu dan menyadari sepenuhnya bahwa ’mutu pendidikan’ kita jauh tertinggal dibanding dengan tetangga dan sahabat kita di Asean, Apalagi dibanding dengan negara-negara lain yang jauh lebih maju. Dan –issue itu mengatakan- penyumbang terbesar rendahnya mutu pendidikan/sekolah kita itu adalah Sekolah Dasar. Hal ini terjadi karena SD tersebar sampai ke pelosok-pelosok negeri, dari pinggir-pinggir laut sampai ke puncak-puncak gunung. Ditambah lagi, SD adalah sekolah yang gurunya tidak merata dan mutunyapun tidak merata, makin jauh dari pusat kota, makin kurang gurunya dan makin rendah mutunya. Apalagi di SD berlaku sistem Guru Kelas, artinya pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan di kelas sepenunhnya dipegang oleh satu orang guru. Se”sakti” apapun guru SD, kalau harus menangani berbagai mata pelajaran dalam kesempatan yang bersamaan tentu repot juga. Lebih dari itu, ’repot’nya guru akan sangat mempengaruhi ’raport’ anak, sesuatu yang sangat tidak mengenakkan.

PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

Sebagai sekolah pertama yang dimasuki oleh anak, maka disinilah ia mendapatkan pengalaman pertama bagaimana belajar, bersosial, beretika, dan sebagainya dalam sebuah sekolah. Sebagai ’pengalaman pertama’ tentulah akan memberikan kesan yang kuat dan sangat berarti bagi seseorang dalam kehidupan ini. Lebih dari itu, iklim/kultur, pembiasaan, pembelajaran, pendidikan, pergaulan, yang selama 6 tahun terus menerus menyelimuti kehidupan, niscaya akan dapat membentuk karakter seseorang. Apalagi ”seseorang” itu adalah sang kertas putih yang berada dalam masa peka dan masa pertumbuhan yang sangat pesat. Tak ayal lagi, pembiasaan dan pendidikan Sekolah Dasar akan mewarnai karakter anak secara signifikan dan permanen.

Bertumpu pada assumsi diatas, maka sangat beralasan kalau dikatakan bahwa Sekolah Dasar adalah tempat meletakkan dasar-dasar bagi anak dalam hal bersekolah dan menjadi dasar baginya untuk menjangkau sekolah selanjutnya. Manakala di dasar anak sudah ’baik dan benar’ maka untuk selanjutnya dengan penanganan yang ’bagus’ tentu yang baik akan bertambah baik dan yang benar akan semakin benar. Sebaliknya, jika di dasar anak sudah ’rusak dan salah’ maka untuk selanjutnya tentu sangatlah sukar baginya untuk mengukir prestasi atau mengembangkan potensi dan kreativitas yang memadai.

Sebagai dasar utama untuk menjadi anak yang ’terdidik’, agar dapat menjadi Anak Sekolahan –seperti Si Doel- maka di SD sudah selayaknyalah diberikan dasar-dasar yang kuat agar anak punya kemampuan MEMBACA, MENULIS dan BERHITUNG yang dikenal dengan istilah 3 R (singkatan dari Read, wRite, dan aRithmatic). Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya anak yang belajar di SD haruslah juga diberi dasar yang kuat untuk mampu BERBICARA dan MEMECAHKAN MASALAH. Dan last but not lest anak di SD juga ditata dasar-dasar BERAKHLAK. Jikalau keenam pokok ini ditanamkan dengan kokoh dan dipupuk dengan baik dan teratur sejak di SD kita orang tua boleh merasa tanteram karena langkah-langkah anak selanjutnya insya Allah akan ’aman dan terkendali’.

SIAPA YANG MENJADI ’GURU’ DI SEKOLAH DASAR

Tugas utama guru adalah mendiDIK, mengaJAR, dan melaTIH, disingkat menjadi DIKJARTIH. MENDIDIK dilakoni oleh guru agar anak menjadi pribadi yang ’berakhlak’, dan itu sangat banyak ditentukan melalui proses ’pembimbingan’ dan penerapan ’kultur sekolah’. MENGAJAR dilakukan oleh guru terutama agar anak memiliki kemampuan dasar yang baik dalam hal membaca, menulis, dan berhitung dimana ketiga R ini menjadi indikator utama keberhasilan pembelajaran yang barangkali menjadi dasar munculnya konsep ”Guru Vak” dalam pembelajaran di SD. Adapun MELATIH terutama ditekankan kepada guru agar anak mampu berbicara (termasuk di dalamnya mengemukakan pendapat, berkomunikasi dengan orang lain, berbicara di depan umum, dan yang semacamnya) dan melatih anak untuk memecahkan masalah (hal ini terutama dimaksudkan agar anak tidak ikut-ikutan terseret suka mencari jalan pintas/menerabas, bisanya menggunakan otot dalam menyelesaikan masalah karena tidak terlatih menggunakan otak, atau lari mengambil jalan yang irrasional).

Guru adalah mereka yang memang dipersiapkan berada di garis paling depan, yang setiap saat bertugas berinteraksi dengan murid. Tugas keguruan melambangkan pertemuan antar dua generasi –generasi tua dengan generasi muda- lambang kesinambungan masa lalu dengan masa depan. Gurulah yang diberi kepercayaan untuk menerapkan program kurikuler. Di tangan gurulah –bukan di tangan orang lain- program menjadi hidup, atau . . . . justru mati.

Kalau kita telusuri sejarah pendidikan di Indonesia, kita akan dapati pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan dan jaman merdeka sampai akhir dekade 1950-an dan permulaan 1960-an jauh di bawah kualifikasi guru pada saat ini. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B (SGB – 4 tahun setelah SD), guru SMP adalah SGA (6 tahun setelah SD atau 3 tahun setelah SMP/SGB kelas III), dan guru SLTA adalah B1 (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya.

Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan, yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru SLTP adalah D3 Kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1 Kependidikan dan S1 dengan Akta Mengajar (Akta IV).

Pertanyaannya adalah: mengapa pada masa dahulu, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru pada saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang ”bermutu” sedangkan sekarang dengan kualifikasi yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan.

Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pendidikan di Sekolah Dasar. Pendidikan kita lemah pada fondasinya, sehingga sebagus dan sekokoh apapun bangunan yang didirikan diatasnya, tetap saja ’lemah dan mengkhawatirkan’. Kelemahan pendidikan di SD salah satunya disebabkan lemahnya rekrutmen tenaga guru yang akan menjadi ”Pengawal Garis Depan” sekolah-sekolah kita yang menjadi tumpuan bagi sekolah-sekolah selanjutnya.

Sesudah tahun 1965, pasca peristiwa G 30 S / PKI kita merekrut guru SD besar-besaran. Anak bangsa yang pernah sekolah –dan tamat- SD dan punya kemauan untuk mengajar di SD diangkat menjadi CAGUR (calon guru) dan untuk guru agama diadakan UGA (Ujian Guru Agama). Ketika kita mencanangkan Wajib Belajar 6 tahun dan membangun SD secara besar-besaran dalam bentuk SD Inpres, kebutuhan dan kekurangan tenaga guru untuk SD tambah besar. Dalam keadaan yang demikian, untuk rekrutmen tenaga guru yang diperlukan sudah tak mungkin lagi memilih calon guru yang ’mau dan mampu’, sehingga diambillah yang ”mau” saja dahulu –syukur mereka mau- sedangkan ’kemampuan’nya bisa ditangani nanti ketika mereka sudah bertugas, yang penting mereka mau dan ’bisa’ MENGAJAR (sebagian dari tugas/fungsi guru DIKJARTIH).

Memang tugas guru dapat direduksi hanya sebagai pengajar, tetapi dengan demikian ia mengingkari dan melupakan tugasnya yang lebih penting –terutama untuk Sekolah Dasar- adalah sebagai pendidik/pembimbing dan pelatih. Dan memang guru didesain sebagai PENDIDIK/Pembimbing, PENGAJAR, dan PELATIH (DIKJARTIH). Namun dalam kenyataannya, tugas guru yang telah direduksi sebagai ”pemberi mata pelajaran” pun hasilnya sudah semakin tidak memuaskan. Dengan tugas dan kemampuan yang terbatas, guru memang tidak dapat lain kecuali menjadi manusia-serba-terbatas (padahal katanya: Guru SD adalah Guru yang Paling Sakti). Dunianya terbatas pada scope mata pelajaran, tujuannya terbatas pada keberhasilan ebtanas, motivasinya terbatas pada bertahan hidup. Alangkah malangnya nasib bangsa ini kalau ada guru seperti itu; lebih malang lagi kalau banyak guru yang demikian.

Kalau ini sebuah kesalahan tentu awalnya bukanlah pada Guru. Sejak seseorang memasuki profesi keguruan, sudah terdapat berbagai kelemahan. Persepsi Pemerintah dan masyarakat –termasuk persepsi orangtua dan anak didik sendiri- terhadap peran dan posisi guru merosot dan merendah sampai pada tingkat yang mencemaskan. Akibat berantai ialah calon yang berpotensi menjadi guru yang baik mengurungkan niatnya. Karenanya, guru semakin banyak yang berasal dari mereka yang tidak berpeluang memilih pendidikan yang lain, atau yang datang dari lapisan sosial yang semakin rendah. Ini bukan causa prima; ini adalah akibat.

Akibat ini masih berlanjut di dalam lembaga pendidikan guru. Di sini, sifat profesionalisme kelembagaan sudah semakin luntur. Lembaga ini tidak banyak berbeda dengan lembaga yang lain, kecuali bahwa umumnya penampilan dan prestasi lembaga ini lebih buruk. (Bandingkan SPG/SGA dengan SMA/SMK, atau IKIP almarhum dengan Universitas misalnya). Yang dari semula sudah merisaukan ialah program kependidikan yang ditawarkan dalam membangun kefahaman profesi keguruan, bukan ditingkatkan, tetapi justru dihilangkan. Kalau masih ada, ilmu itu dipandang sebagai ilmu bantu, bukan ilmu dasar. Program pembinaan kompetensi profesional –dalam bentuk kemampuan mengajar- hanya bersifat pelengkap, bukan inti. Dengan demikian, setelah sedikit mencicipi praktek mengajar, calon guru segera diberikan brevet kewenangan menjadi guru.

Kompetensi Calon Guru yang dihasilkan oleh Lembaga dan Sistem yang tidak terlalu baik ini, bagi sekolah-sekolah lanjutan dan sekolah-sekolah tinggi –mungkin- tidak terlalu berasa, tapi bagi Sekolah Dasar –sebagai Dasarnya sekolah- sangat berasa ’pahit’nya.

MENYIAPKAN CALON GURU

Tak ada seorangpun yang meragukan, apalagi membantah, bahwa guru merupakan faktor kunci yang paling menentukan dalam keberhasilan pendidikan dinilai dari prestasi belajar siswa. Reformasi apapun yang dilakukan dalam pendidikan, seperti pembaruan kurikulum, penyediaan sarana/prasarana dan penerapan metode mengajar baru, tanpa guru yang ”bermutu” peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal.

Kenyataan menunjukkan bahwa masih sebagian besar guru underqualified, tingkat penguasaan bahan ajar dan keterampilan dalam menggunakan metode pembelajaran yang inovatif masih sangat kurang. Kondisi seperti ini menambah kecemasan kita menghadapi hari esok yang menuntut adanya guru yang profesional. Tim Penyusun Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP) merumuskan kompetensi guru dalam 4 (empat) rumpun yaitu: (1) Penguasaan Bidang Studi, (2) Pemahaman tentang Peserta Didik, (3) Penguasaan Pembelajaran yang mendidik, dan (4) Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan.

Untuk mendekati masalah ini, wajar kita melihat mata rantai yang lain, yaitu lembaga yang mendidik guru, lembaga yang bertugas dan berfungsi menyiapkan calon guru. Sebuah hal positif masa lalu yang tidak dapat dibiarkan berlalu begitu saja adalah ini: apabila kita mempertanyakan dimana guru dididik dan dipersiapkan, jawabnya jelas: oleh sebuah lembaga khusus. Lembaganya jelas : sekolah guru. Tugasnya jelas: mendidik calon guru. Programnya jelas: penanaman dan pemantapan jiwa keguruan, nilai keguruan, kebanggaan profesi, dan tentu saja –tetapi tidak semata-mata- bekal-bekal ilmu-ilmu keguruan, dari falsafah pendidikan sampai dengan model mengajar.

Pada zamannya, dan dalam konteks tertentu, pendekatan lembaga itu cukup sehat dan jelas. Dengan bersahaja, guru adalah sebuah vocation, sebuah pekerjaan. Tetapi sekaligus, pekerjaan itu adalah sebuah dedication; sebuah pengabdian. Dengan itu, guru menjadi guru sekaligus menjadi icon keteladanan; karena itu guru dihormati tidak sebagai pengajar, tetapi sebagai pendidik. Kini, kita inginkan tugas guru lebih eksplesit disebut sebuah profession, sebuah pekerjaan dengan keahlian khas. Dimanakah guru-guru profesional ini dididik ? Kemarin masih ada SPG (Sekolah Pendidikan Guru), namun sekarang sudah ’mati’, tapi dimana kuburnya ? Kemaren masih ada IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), sekarang telah mengalami metamorfose. Untuk menjadi lebih baik, atau sebaliknya ? Sejarah masih harus membuktikan; dan kalau ternyata kondisi keguruan dan persekolahan kita tidak menjadi lebih baik secara signifikan, maka inipun menjadi malapetaka di dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia.

Kita bertolak dari situasi yang normal bahwa seorang guru tentulah berpendidikan sekolah guru, sekolah yang karena terkait pada persiapan pekerjaan tertentu disebut sekolah profesional, yang sebenarnya adalah sejenis sekolah kejuruan. Tetapi lulus dari sekolah tersebut belum langsung menjadikan guru tersebut benar-benar seorang dengan kemampuan profesional. Sejauh ini, dia baru memiliki syarat formal, syarat yang berada pada tingkat dasar dari seluruh syarat-syarat yang diperlukan. Seorang lulusan sekolah guru tentu berpengetahuan keguruan; tetapi tidak ada alasan untuk segera berkesimpulan bahwa dia adalah seorang guru yang ’pasti’ berkemampuan profesional. Perlu disadari bahwa kecuali berkelulusan lembaga pendidikan guru, masih ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki untuk menjadi seorang guru yang profesional, tetapi hanya dapat dikembangkan sesudah pendidikan tahap formal selesai.

Barangkali dengan pertimbangan inilah kenapa Pemerintah menetapkan bahwa guru SD harus berkualifikasi Diploma 2 ( 2 tahun pasca SMA). Padahal yang ”sebenarnya” adalah untuk menjadikan guru yang profesional diperlukan pendidikan lagi paling tidak 2 tahun setelah calon guru itu lulus dari ”Sekolah Guru”. Tapi apa mau dikata, SPG sudah mati karena sampai ajalnya –atau dimatikan sebelum ajal ?- dan itu tak bisa hidup lagi, dan tak boleh hidup lagi.

Barangkali karena besarnya harapan untuk hadirnya sosok guru yang profesional menangani sekolah-sekolah dasar kita agar Sekolah Dasar dapat menjadi Dasar Sekolah selanjutnya, meskipun kita tahu pasti bahwa yang sudah mati itu tak akan hidup lagi, namun di saku ini masih tersisa seberkas harapan: Masih mungkinkah reinkarnasi Sekolah Guru dalam bentuk Sekolah Menengah Kejuruan (jurusan Keguruan) . Wallahu a’lam.

P E N U T U P

Mengantisipasi adanya berbagai ketimpangan dan kelemahan dalam sistem penyelenggaraan program pendidikan guru, khususnya bagi guru Sekolah Dasar, perlu adanya suatu pemikiran dan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pengembangan pendidikan meliputi program pengadaan dan pengembangan tenaga guru. Program pengadaan dan pengembangan tenaga guru ini harus benar-benar diperhatikan secara sungguh-sungguh, karena berhasil tidaknya pembaharuan pendidikan banyak ditentukan oleh faktor guru. Dalam pengadaan dan pengembangan tenaga guru ada dua masalah pokok yang perlu dihadapi yakni pemenuhan tenaga guru yang besar jumlahnya dan peningkatan kualitas profesional guru yang belum memenuhi standar minimal.

Untuk keberhasilan pembaharuan pendidikan, bukan saja ditentukan oleh cukup tidaknya tenaga guru tetapi juga kualitasnya. Apa artinya jumlah guru yang cukup tetapi kualitasnya rendah (dan lebih tak berarti lagi manakala sudah jumlahnya tidak cukup, kualitasnya rendah lagi). Hal ini berarti bahwa program pendidikan guru disamping harus memperhatikan jumlah guru yang diperlukan, juga bersamaan dengan itu harus memperhatikan peningkatan kualitasnya.

Untuk memperoleh calon-calon guru yang baik, maka calon-calon yang ingin masuk sekolah guru hendaknya diseleksi berdasarkan kemampuan dan minatnya. Sekolah guru –terutama untuk menjadi guru di Sekolah Dasar- kurikulumnya dirancang lebih ditekankan pada ”penampilan guru” baik ketika berada di depan kelas, di sekolah, di dalam kehidupan pribadinya maupun di dalam masyarakat.


Banjarbaru, Desember 2007

AHMAD KUSASI

HARTA TIANG PENYANGGA KEHIDUPAN

Harta adalah tiang penyangga utama bagi kehidupan, karena itu maka kehidupan lambat laun akan runtuh manakala tiang penyangganya patah atau hancur. Bahkan, lebih dari itu, tatanan kehidupan batin akan goyah, manakala tiang penyangga yang satu ini terguncang. Rasulullah saw. Telah mengingatkan akan hal itu dalam sabda beliau : “kadal faqru an yakuuna kufran” = nyaris kefakiran dapat membawa kepada kekufuran.

Harta pada hakikatnya adalah milik Allah, amanah Allah yang dilimpahkan kepada manusia untuk dicari dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Karena milik Allah maka setiap kita yang menerima harta –sebagai amanah- wajib mempertanggung jawabkan semua itu kepada Allah. Allah yang telah memberikan pelbagai nikmat kepada manusia, kemudian Dia menyuruh manusia mengelola nikmat itu sebaik-baiknya dalam rangka pengabdian kepada-Nya. Karena Allah yang telah mengaruniakan nikmat-nikmat itu kepada manusia maka sangat wajar bila Dia menanyakan kepada manusia untuk apa nikmat-nikmat itu digunakan.

Dalam salah satu hadits riwayat ad-Darimy dan at-Tirmidzi, dari Abi Barzakh al-Aslamy, Rasulullah bersabda :

“Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba –menuju batas shirathal-mustaqiem- hingga ditanyakan : (1) tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, (2) tentang ilmunya, untuk apa ia amalkan, (3) tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan kemana ia gunakan, (4) tentang badannya, untuk apa ia gunakan”.

Dari hadits ini jelas sekali ditegaskan oleh Rasulullah bahwa pertanggung jawaban dalam pengelolaan harta dituntut dari dua segi, darimana diperoleh dan kemana dipergunakan. Dari sini bisa dilihat bahwa dalam perolehan dan pengelolaan harta terdapat dua prinsip yakni : HALAL dan BERFUNGSI SOSIAL.

Dalam rangka menegakkan, mewujudkan dan mempertahankan prinsip-prinsip inilah makanya harta merupakan ujian terberat bagi manusia. Dalam salah satu hadits riwayat at-Tirmidzi dan al-Hakim, dari Ka’ab bin ‘Iyyadh, Rasulullah bersabda :

“Bagi tiap-tiap ummat itu ada fitnah/ujian, dan sesungguhnya fitnah ummatku adalah harta”.

Ujian hidup dengan harta menjadi semakin berat dan terasa rumit, karena didalamnya telah dipasang perangkap oleh syaitan. Rasulullah menjelaskan tentang perangkap syaitan itu dalam sabdanya :

“Telah bersabda Rasulullah saw. : Syaitan telah mengeluarkan pernyataan: Tidak akan selamat dariku mereka-mereka yang berharta, dari salah satu dari tiga perangkap, dimana ketiga perangkap itu kupasang dihadapannya pagi dan petang (setiap waktu dan kesempatan), yaitu: (1) pengambilan harta dari sumber yang tidak halal, (2) pembelanjaan harta pada jalan yang tidak benar, (3) kecintaan yang bersangatan kepada harta, sehingga ia merasa berat untuk mengeluarkannya pada jalan yang benar” (H.r. at-Thabrany, dari Abdurrahman bin ‘Auf r.a.).

Inti dari pengelolaan harta adalah berupaya menegakkan DUA prinsip : kehalalan dan Fungsi Sosial, dan menghindari TIGA jebakan syaitan, yakni: perolehan dari sumber yang tidak halal, penggunaan pada jalan yang tidak benar dan kecintaan yang bersangatan terhadap harta.

Sejarah kehidupan telah memberikan keterangan dan pelajaran bagi manusia tentang langkah-langkah anak manusia dalam mengelola dan menangani harta, jatuh-bangun, sukses dan gagal, yang telah dialami oleh orang-orang terdahulu dalam bermain-main dengan harta, mempermainkan harta atau bahkan dipermainkan oleh harta dunia. Semua itu menjadi cermin dan rambu-rambu bagi mereka-mereka yang mau mengambil I’tibar, yang mau berguru kepada pengalaman masa lalu atau pengalaman orang lain. Bukankah pengalaman adalah guru yang paling baik ?

Kasus Pertama : yang akan selalu diingat ketika berbicara tentang ujian dengan harta adalah : riwayat sisi kelam dari Tsa’labah.

Suatu hari Tsa’labah bin Khatib datang menemui Rasulullah saw. Ia mengadukan tekanan ekonomi yang dideritanya. Ia bermohon : “Ya Rasulullah, doakan saya supaya Allah memberikan rezeki yang banyak kepadaku”. Nabi berkata: “Tsa’labah, tidakkah kamu ingin meniru keadaanku. Padahal bila aku mau, bukit-bukit pun dapat disuruh berjalan bersamaku”. Tsa’labah mendesak: “Doakan saja aku ya Rasul Allah. Demi Yang Mengutusmu dengan kebenaran, sekiranya Allah memberikan kekayaan kepadaku, aku akan memberikan kepada setiap orang haknya”. Begitu pintanya dan sekaligus janjinya. Dengan lembut Nabi saw. menasehatinya : “Malang betul engkau Tsa’labah, qalilun tuthiqu syukrahu khayrun min katsiirin la tuthiq – sedikit harta tetapi mampu kamu syukuri lebih baik daripada banyak harta tetapi tak mampu kamu syukuri”. Tsa’labah mendesak juga. Akhirnya Nabi berdoa agar Allah melimpahkan kekayaan kepadanya. Tsa’labah mulai berniaga, membeli ternak. Ternaknya berkembang pesat, sehingga peternakannya menjadi sempit. Ia kemudian membangun ranch agak jauh dari Madinah. Setiap hari ia sibuk mengurus ternaknya, ia tidak sempat lagi menghadiri shalat berjamaah bersama Rasulullah siang hari. Peternakannya terus berkembang dan harus memindahkannya ke tempat yang lebih luas dan tentu lebih jauh. Kini, ia tak dapat berjamaah bersama Nabi, baik siang maupun malam. Ketika perkembangan ternaknya mencapai puncak, ia tak dapat menghadiri shalat Jum’at atau ta’dziyah dan mengantar jenazah. Itu karena ia sibuk dengan “jama’ah” ternaknya. Nabi saw. Sering menanyakan ihwalnya, karena merasa kehilangan dia. Orang-orang memberitahu beliau (Rasulullah) bahwa Tsa’labah sekarang sudah sangat kaya, sudah menjadi konglomerat. Kemudian turunlah perintah zakat. Nabi menugaskan dua orang sahabatnya untuk mengumpulkan zakat, seorang untuk anggota Bani Sulaym dan seorang untuk Tsa’labah. Ketika mereka menemui Tsa’labah, kepada utusan Rasul itu dengan penuh kecurigaan Tsa’labah menanyai dan menyatakan bahwa tugasmua memungut jizyah, karena itu anda keliru dating kepadaku, pergi saja kalian ke tempat lain, begitu kata Tsa’labah. Ketika utusan Nabi saw. Menemui Bani Sulaym, mereka disambut hangat karena mereka beranggapan bahwa menghormati utusan Nabi sama halnya dengan menghormati Nabi saw. Sulaym menyerahkan ternaknya yang bagus-bagus –sebagai zakat-. Ketika kepadanya (Bani Sulaym) dikatakan bahwa ia membayar berlebih, Banu Sulaym berkata: Aku tidak ingin mendekatkan diri kepada Aallah kecuali dengan hartaku yang paling baik.

Ketika kedua utusan itu tiba kembali di Madinah, sebelum mereka bicara apa-apa, Rasulullah sudah mendahului berkata: Celakalah Tsa’labah dan semoga Allah memberkati Sulaym. Pada waktu itu turunlah ayat :

“Dan diantara mereka ada orang yang berjanji kepada Allah: Sekiranya Tuhan memberikan anugerah-Nya kepada kami, kami akan bersedekah dan menjadi orang yang saleh. Tetapi setelah Tuhan memberikan anugerah-Nya, ternyata mereka berpaling dan mengingkari janjinya. Maka Allah menimpakan kepada mereka kemunafikan sampai hari ketika mereka berjumpa dengan Dia karena mengingkari janji kepada Allah dan berdusta.Tidakkah mereka tahu bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka. Sungguh Allah Maha Tahu akan apa yang tersembunyi” (Q.s. al-Baraah/at-Taubah : 75-78 ).

Kasus Kedua : Cerita tentang sebatang korma.

Pada zaman Nabi saw., pohon korma sama seperti tanah pada zaman agricultural, modal pada masyarakat kapitalis. Makin banyak orang memiliki pohon korma, makin kaya dia, makin tinggi statusnya di tengah-tengah masyarakat.

Di Madinah ada sebatang korma yang sangat bersejarah. Sehubungan dengan kurma itu, beberapa ayat Al-Qur’an turun dari langit. Pohon korma itu tumbuh di halaman rumah dan milik orang kaya, tetapi batangnya condong ke rumah orang miskin yang banyak anaknya. Sekali-sekali yang empunya memetik buah korma itu, sebagian buahnya berjatuhan ke halaman si miskin, dan tentu anak-anak yang lapar memungutnya dan memakannya. Menyaksikan hal itu, yang empunya bergegas turun. Ia pungut butir-butir korma yang jatuh, ia rebut butir-butir yang masih di genggaman anak-anak lapar itu, bahkan yang sudah di mulutpun dikoreknya. Ia berusaha menyelamatkan setiap butir korma yang menjadi miliknya. Ia tak mau itu “direbut” oleh orang lain, si miskin sekalipun.

Orang miskin itu dating mengadukan halnya kepada Rasul. Rasul dengan segera menemui pemilik korma itu. “Berikan padaku pohon korma yang condong ke rumah Fulan, nanti Allah akan mengganmtikan kamu dengan sebatang korma di sorga”, begitu bujuk Rasul. Pemilik korma berkata: “Aku punya banyak pohon korma, tetapi korma yang satu ini yang paling aku sayangi karena buahnya lebat dan manis lagi”. Setelah itu ia ngeloyor pergi meninggalkan Rasul begitu saja.

Adapun Abu Dahdah, -sahabat Nabi- mendengar peristiwa itu segera menemui Rasul saw. “Ya Rasul Allah, sekiranya aku mengambil pohon korma itu dan memberikannya kepada orang miskin itu, apakah Tuan berikan juga bagiku pohon korma di sorga ? ia bertanya. Dan Rasul yang mulia mengagguk. Segera setelah itu Abu Dahdah menemui pemilik korma. Setelah berunding dengan a lot, pemilik korma akhirnya bersedia menyerahkan pohon korma itu setelah ditukar dengan empat puluh batang korma yang lain. Setelah negosiasi itu berlalu, dengan gembira Abu Dahdah menemui Nabi saw. “Ya Rasul Allah, ya Rasul Allah, pohon korma itu sekarang milikmu, aku sudah membelinya”. Nabi saw. Kemudian menyerahkan pohon korma itu kepada orang miskin dan keluarganya. Tentu saja, keluarga miskin itu sangat gembira, akan tetapi yang paling bahagia adalah Abu Dahdah, ia telah menanam pohon korma di sorga.

Hari itu turunlah surah al-Layl. Allah memuji Abu Dahdah dan mengecam pemilik korma yang rakus. Tentang Abu Dahdah Allah berfirman :

“Sebab itu, siapa yang memberi dan bertaqwa, dan percaya akan berita gembira, Kami akan berikan kepadanya jalan kemudahan” (Q.s. al-Layl : 5-7 ).

Tentang pemilik korma yang rakus dan pelit itu Allah berfirman :

“Tetapi orang yang kikir dan merasa serba ada, dan mendustakan (tidak percaya) berita gembira, Kami akan berikan kepadanya jalan kesulitan. Kenyataannya, tiada berguna baginya segala harta benda itu ketika ia dibinasakan” (Q.s. al-Layl : 8-11 ).


Memang sejak semula kita menyadari bahwa harta adalah tiang pancang kehidupan ini, akan tetapi mungkin belum semua kita menyadari bahwa harta adalah juga batu ujian, bahkan mungkin hanya sedikit orang yang sadar bahwa harta adalah juga medan tempat syaitan memasang perangkap-perangkapnya untuk menyesatkan manusia di jalan kehidupan ini.

Surah al-Layl mungkin sering kita dengan, dan cerita tentang Tsa’labah serta Abu Dahdah telah berlalu dari pendengaran dan kesadaran kita, dan bahkan banyak pula kejadian-kejadian yang serupa tapi tak sama dengan kasus-kasus di atas, barangkali sering juga berlalu di depan mata kita, atau menyentuh kita dan bahkan menghujat kita semua. Apakah kita menjadi sosok seperti Tsa’labah, yang karena kerakusannya menjadikan ia melupakan janji-janjinya, melupakan kewajibannya dan tugas keagamaannya, bahkan membuat ia lupa diri dan lupa Tuhannya. Ataukah kita sudah menjadi orang seperti pemilik korma, yang dengan rakusnya menyelamatkan, mengejar dan memburu setiap butir harta, walau dengan merebut makanan orang-orang miskin dari mulut-mulut mereka, yang selalu mengejar dan menumpuk harta, yang sangat pandai mengali tapi tak pernah bisa-bisa membagi. Ataukah kita adalah seperti Abu Dahdah yang setiap saat siap membagi kelebihannya kepada orang lain yang memerlukan, untuk menanam pohon korma di sorga.

Semuanya terpulang kepada diri kita masing-masing untuk memahami, menyikapi dan memaknainya. Semoga dengan bimbingan dan pertolongan Allah swt. Kita dapat memilah dan memilih yang terbaik untuk kita dan untuk semua. Bangsa, Negara, dan agama. S e m o g a .

Banjarbaru, 09 Januari 2008

AHMAD KUSASI